ikl4

Friday, April 27, 2012

Apa Susahnya Menerbitkan Buku Sendiri



Oleh Editor

Di suatu malam yang bingar, Puthut EA berceloteh panjang lebar. Puthut EA adalah seorang penulis fiksi masa depan asal Yogyakarta. Saya tak tahu, malam itu ia mabuk berat atau sedang kumat gilanya. Tawanya sungguh berderai-derai disertai dengan tubuh tambunnya yang bergerak dan perutnya yang bulat mengombak-ombak menahan tawa tergeli-geli. Beberapa kali harus berguling-guling di lantai berkarpet merah tua oleh sebab bahakan tawa yang tak tertahankan.

Dan malam itu ia sedang berceloteh tentang kematian penerbit.

“Sebentar lagi, mampuslah kalian para penerbit. Ini dia, Puthut EA, akan membuat sebuah naskah besar. Dan naskah itu akan saya terbitkan sendiri. Sampulnya saya kasih kawan membuatnya. Pemasaran saya serahkan semuanya kepada distributor dengan sistem Giro (Bilyet Giro-red). Tinggal nunggu empat bulan sampai dana cash cair. Nah, sambil nunggu itu saya mempersiapkan naskah baru.

“Dan mati konyol kalian penerbit, nggak dapat naskah. Akan saya umumkan semua ini kepada penulis-penulis Indonesia bahwa saatnya tidak menyerahkan naskahnya kepada penerbit. Ada cara yang jitu untuk menerbitkan sendiri karya. Tinggal buat naskah pracetak dan nggak usah direpotkan oleh distribusi dan royalti aman. Huahuahahahahahaha. Huahahahahahaha. Dan sebentar lagi penerbit akan kurus kering. Nggak dapat naskah dari penulis. Huahahahahahahahaha.”

Anggapan saya malam itu, Puthut memang sedang kumat dan ditambah oleh cekikan minuman beralkohol berkadar tinggi. Tapi kata-katanya itu sungguh cerdas. Dan memang, kerap otaknya memang encer kalau sedang mabuk. Betapa tidak, idenya itu lho sungguh brilian dan menggelitik, yakni ingin menerbitkan karya sendiri. Gagasan asing dan agak jauh dari riwayat pemikiran penulis sebelumnya bahkan hingga kini.

Selama ini penulis sudah terkotak dengan pemikiran bahwa untuk bisa lahir naskahnya menjadi buku perlu bantuan penerbit (mapan). Dan untuk itu menjadi pemandangan yang lazim bila penulis harus menenteng karyanya dan masuk dari satu pintu penerbit ke pintu penerbit lain untuk menjajakan naskahnya. Dan kalaupun diterima harus menunggu daftar panjang penjadwalan untuk sampai pada giliran terbit. Dan kalaupun sudah dicetak dan disebar ke toko-toko buku, masih dipusingkan dengan royalti yang dikemplang dan sang penulis akan keluar masuk lagi ke pintu penerbit untuk menagih. Pun bila bukunya sudah terjual di pasar, penulis tak langsung bisa mencicipi semua royaltinya, melainkan royalti itu akan dicicil dan diteteskan oleh penerbit secuil demi secuil. Bahkan banyak betul penerbit partikelir yang tak mau melapor dan membayar royalti kalau tidak ditagih secara ekstra rajin dengan muka ditebal-tebalkan.

Menerbitkan karya sendiri adalah satu cara dan terobosan baru untuk menghindari tetek bengek seperti itu. Umumnya yang dikeluhkan oleh penulis adalah modal awal cetak dan distribusi buku. Sungguh mendistribusikan buku sendiri adalah pekerjaan yang mutlak sibuk dan sedikit demi sedikit akan menggerus praktik menulis yang sudah dibangun sedemikian rupa dan dijaga kontinuitasnya. Tapi bukankah menagih royalti kepada penerbit nakal juga menguras tenaga dan bisa jadi membangkrutkan imajinasi dan marah-marah tak keruan juntrung. Apalagi bila tahu ditipu habis-habisan oleh penerbit?

Untuk soal modal awal cetak, barangkali cara klasik yang bisa dilakukan adalah dengan cara membongkar tabungan pribadi—kalau memang tabungan itu ada dan cukup tersedia. Katakanlah, untuk buku yang tebalnya hanya 200 halaman, penulis mengeluarkan dana produksi sebesar 4 jutaan rupiah. Tak terlalu besar bukan? Tapi kalau itu masih memberatkan, jangan khawatir ada cara lain, yakni bekerjasama dengan pihak distributor untuk mendanai dan mereka yang akan menalangi dana awal produksi. Carilah distributor itu. Biasanya ada dua cara yag dilakukan distributor. Kalau mereka memiliki dana cashflow yang mencukupi, mereka akan menyerahkan dana tunai kepada kita. Tapi bila dana cashflow itu tak ada, maka sistem yang diberikan adalah dengan pembayaran tunda sekian bulan yang biasa memakai transaksi kertas Bilyet Giro. Dan ada percetakan yang mau dibayar dengan sistem seperti ini. Dengan catatan tentu saja: distributor yang bersangkutan yang akan menjadi distributor tunggal. Di beberapa kota, terutama sekali di Yogyakarta, beberapa distributor buku mau dan berendah hati menalangi dana-dana taktis awal seperti ini.

Yang hanya kita lakukan setelah buku usai dituliskan adalah membuat pracetak. Mulai dari pengeditan, desain isi, desain sampul, koreksi, dan proofreading. Ada lagi, kalau ingin sedikit sibuk: mencari percetakan yang murah meriah, membuat separasi film untuk sampul dan menyerahkannya ke percetakan sampul, mencetak plate untuk isi, dan seterusnya.

Kalau tak ingin repot, ya sudah serahkan saja semuanya kepada percetakan. Yang perlu disiapkan hanyalah naskah dan desain sampul yang sudah dalam bentuk film reparasi. Dan percetakan yang akan melakukan tugasnya sampai selesai. Tinggal ongkang-ongkang kaki sampai tiba saatnya percetakan memberitahu bahwa buku selesai cetak dan kita membawanya ke distributor dan membuat faktur tanda terima penjualan. Selesai. Tinggal kita menunggu buku kita berbaur dengan buku yang lain di rak-rak toko buku untuk berjuang merebut hati dan gapaian tangan pembeli untuk merogoh dompetnya. Sambil menunggu perjuangan buku tersebut merebut hati pembeli di rak-rak toko buku, bolehlah sang penulis lenyap untuk sementara waktu sekian bulan dalam rangka menulis buku berikutnya.

Tapi satu catatan: sistem Bilyet Giro juga bukannya bebas risiko. Jika tak laku pihak distributor mengembalikan buku kepada sang penulis. Bila sejumlah dana yang tertera dalam kertas giro sudah cair, maka penulis berhak menggantinya. Dan biasanya dengan buku baru. Tapi itu tergantung perjanjian awal di atas kertas bersegel antara penulis dan penerbit. Tapi begitulah, bukan usaha namanya kalau bebas dari risiko. Bukankah semua usaha dan kerja memendam risikonya masing-masing? Jadi hadapi saja.

Seperti saya katakan tadi, jika buku yang bersangkutan tidak dibiayai oleh distributor tapi dari kantong penulis sendiri, maka sang penulis berhak memberikannya kepada distributor yang disukai dan dipercayai. Jadi bukan memakai jalur distributor tunggal. Bebas. Tapi ada satu risiko yang akan ditanggung oleh penulis sekiranya buku di pasaran tidak laku. Yakni, distributor yang bersangkutan berhak mengembalikan buku kepada penerbit yang dalam hal ini penulis sendiri. Tapi kalau yakin bahwa buku Anda pasti habis sekian bulan, maka bisa mencari alternatif distributor lain yang tidak memakai sistem Bilyet Giro. Yakni dengan sistem konsinyasi (titip barang: yang laku dibayar. Jika tidak barang kembali kepada si penitip) dengan persentase rabat yang mereka ambil jauh lebih kecil dibandingkan dengan distributor yang memakai sistem Giro. Dengan sistem konsinyasi, Anda hanya menunggu laporan setiap bulannya berapa buku Anda laku. Dengan sistem ini, stok dana sang penulis akan mengalir terus setiap bulannya.

Dengan memilih menerbitkan sendiri, dengan meluangkan waktu sebulan untuk sibuk mengurus percetakan buku, tentu bukan jadi masalah yang sungguh memberatkan, bukan? Niatkan saja, bahwa buku itu adalah bakal bayi Anda, dan Anda sebagai orangtua sang bayi bertanggung jawab mengurus sendiri persalinannya hingga nongol ke dunia secara sehat dan sempurna hingga masa penyapihan datang. Dan Anda berbesar hati merelakan waktu untuk melihat buku itu terbit dengan/dan tanpa harus menanti nomor urut yang panjang dari penerbit.

Bagaimana, cukup menantang bukan? Tak ada salahnya bila dicoba!

* Catatan yang disarikan dari pengamalan pribadi menjadi penulis dan menerbitkannya sendiri

Friday, April 20, 2012

PAJ

30.000 (luar D.I.Y belum termasuk Ongkir)

(New) 27-09-2014

(New) 27-09-2014
http://www.slideshare.net/anggapwm/m46314-n6

ROCKremaja

ROCKremaja
T-shirt Limited Edition Indonesian. Silahkan klik Store kita ya disini. http://tees.co.id/store/ROCKREMAJA

PAIDI ALEXSO JUMOYO

PAIDI ALEXSO JUMOYO
Buku pertama, Ambisi liar

PLANET UP TO NUS AWAS TETANUS

PLANET UP TO NUS AWAS TETANUS
Buku kedua, berkisah tentang Masa-masa kuliah

14 PROSES KEHIDUPAN (Buku ketiga)

14 PROSES KEHIDUPAN (Buku ketiga)
indie publishing, rekam jejak pernikahan saya

LAUNDRY MAHESTA

LAUNDRY MAHESTA
jln.Diponegoro perumda Mantiasih RT 4 RW 10 nomor 26 Magelang

Bahan Cerita