ikl4

Thursday, May 11, 2017

Kinand Swa


Tokoh dan Karakter

Sundari :  Tokoh utama wanita yang memiliki sifat sedikit tertutup dan dewasa. Ia memiliki keyakinan kuat akan penantian dan rela berkorban demi orang yang ia sayang. Kehilangan kemampuan mendengar sejak mengalami kecelakaan namun memiliki bakat  sebagai balerina.

Wenda : Tokoh utama pria dan merupakan seorang penyanyi pop terkenal. Cuek  dengan keadaan sekitar dan suka membuat sensasi. Kesepian dan memiliki trauma yang takut akan suara hujan. Memiliki wajah tampan  dan suara yang indah sekali.

Sherin: Seorang model terkenal yang sedikit sombong dan menyukai Wenda  meski pada awalnya ia selalu merasa kalah pamor dari cowok itu.

Kak Vidi: Seorang dokter muda yang telah mengenal Sundari sejak beberapa tahun belakangan. Dia juga adalah kakak kandung Sherin dan diam – diam menyukai Sundari.

Kak Bro: Manager Wenda yang sering pusing karena ulahnya. Namun dia sangat bertanggungjawab dan berusaha melindungi penyanyi itu dengan baik.

Niko: Seorang fotografer yang berhasil mengabadikan gambar Sundari saat bermain hujan. Gambar tersebut juga yang menjadikan dirinya diterima bekerja di Agency milik Wenda. Dia juga memiliki perasaan lebih terhadap Sundari.

Alan: Dia adalah teman Niko dan juga bekerja sebagai fotografer di Agency milik Wenda.

Bu Rika: Pemimpin Agency White Entertainment dan ia juga adalah ibu tiri Wenda. Meski hubungannya tidak begitu baik dengan Wenda, ia tetap berusaha menjadi ibu yang baik. Dia juga mantan seorang balerina dan dia membantu Sundari kembali ke pentas tari.

Pak Aldi: Pemilik Venus Entertainment yang berusaha menjatuhkan Wenda untuk membalaskan dendamnya pada bu Rika. Dia melakukan banyak cara agar bisa mendapatkan apa yang dia mau.

Feli : Manager Sundari sekaligus temannya yang sering mendengar isi hati Sundari.

Kak Dila: Istri kak Bro dan sangat baik terhadap Sundari.

Arini: Sang perempuan tunggal kak Bro dan sangat mengidolakan Wenda.  Awalnya ia tidak begitu menyukai Sundari saat gadis itu menjadi guru les privatenya. Namun lambat laun ia sangat menyukai Sundari.

Nenek: Beliau adalah orang yang membesarkan Sundari seorang diri sejak gadis itu berusia 5 tahun.


SINOPSIS

“Kinand_Swa” diambil dari karakter kedua tokoh utama. Singkatan Kinand (King) diambil dari nama panggung karakter utama pria bernama Wenda yang biasa disebut King Da. Ia adalah seorang penyanyi pop terkenal yang memiliki banyak fans karena memiliki suara indah dan wajah gantengnya memikat setiap wanita. Sedangkan singkatan Swa (Swan) adalah julukan untuk karakter utama wanita bernama Sundari yang bisa menari balet layaknya seekor angsa. Pertemuan keduanya yang terjadi secara tak terduga mengubah kehidupan keduanya. Sundari yang terpaksa harus memendam bakat balerinya lantaran tidak bisa mendengar tanpa alat bantu dengar, harus menjadi manager Wenda yang merupakan seorang selebritis yang sering dianggap suka membuat sensasi. Jika sebelumnya kaum hawa yang dibuat sangat menggilai Wenda, lain halnya dengan Sundari. Karakter Sundari yang tenang kerap kali mendatangkan rasa penasaran di hati Wenda. Tidak cukup sampai disitu. Wenda yang dianggap sebagai sosok idola sempurna ternyata menderita ombrophobia. Ia akan langsung merasa pusing, sesak napas bahkan pingsan jika mendengar suara hujan. Phobia yang di derita oleh Wenda dipicu oleh trauma yang ia alami. Ibu yang sangat ia cintai meninggal dunia di saat hujan turun sangat lebat saat ia berumur 9 tahun. Wenda menjadi pribadi yang tidak begitu memperdulikan pendapat orang lain tentangnya, adalah salah satu bentuk kesedihan yang selama ini ia rasakan. Belum lagi ia tidak menyukai sahabat ibunya yang menjadi ibu tirinya. Bertemu dengan Sundari seolah seperti oase yang membuatnya kembali menata hidup dan ia juga mendorong Sundari kembali menjadi seorang balerina.
Wenda berusaha untuk menelan perasaan tidak menentu yang ia rasa. Namun, ia juga belum bisa melupakan teman kecilnya yang ia temui saat di rumah sakit sebelum ibunya meninggal dunia. Teman yang tidak mau memberitahu namanya itu tetap ia tunggu di tempat rahasia mereka. Tanpa ia sadari, bahwa teman kecilnya itu adalah Sundari. Dan selama bertahun – tahun ia juga menunggu Wenda. 
Hujan pernah memisahkan keduanya. Dan hujan juga yang mempertemukan mereka nantinya. Keadaan tidak sesederhana dulu lagi. Sang umur 9 tahun tidak pernah berpikir dua kali untuk menemui temannya. Tapi sekarang, keadaan terasa lebih rumit. Di saat mereka saling mengetahui Kenangan masa lalu, Wenda tidak bisa menemui Sundari, karena karirnya Sundari sebagai balerina baru saja dimulai saat karir Wenda sebagai penyanyi mengalami masalah. Sundari terpaksa harus menjauhi Wenda. Apalagi saat mengetahui, bahwa penyebab ia mengalami kecelakaan 10 tahun yang lewat hingga kehilangan pendengaran adalah karena tidak sengaja tertabrak oleh ibu tiri Wenda yang kini membantunya menjadi seorang balerina. 




Daftar Isi

Payung pink
Undangan Emas
Manager Pengganti
Rahasia Sundari
Rasa, tanya dan Cinta
Dongeng tentang Angsa
Pesan yang Membisu
Ibu Angsa
Penantian yang Bimbang
Takdir Sang Raja
Dia itu Kamu
Fakta yang Terluka
Namaku, JoSundari
Demi Dia Saja, Bukan Kita
Janji yang Menyerah
Aku Suka Kamu



Payung pink

“Jam 5 di markas rahasia. Jangan telat. Kalau gak, aku gak bakalan main piano buat kamu   nanti malam,” sahut seorang Sang laki – laki berumur 9 tahun.
“Aku pasti datang. Nanti mainkan musik yang indah buat aku ya.”
“Oke. tapi, Kenapa kamu gak pernah memberitahu nama kamu sama aku?”
“Nenek aku bilang, kalo aku gak boleh percaya sama orang asing. Lagian aku kan juga gak pernah nanya nama kamu siapa,” jawab gadis kecil yang berusia sebaya dengannya itu.
“Sang perempuan memang aneh.”
“Mmm...ya udah. Siapa yang datang terlambat nanti malam, harus mau kasih tahu namanya siapa,” tawar gadis kecil itu.
“Setuju.”
 
Seorang lelaki berusia 20 tahun memasang topinya saat 2 orang bertubuh tegap menganggukan kepala mereka. Lelaki itu sama sekali tidak peduli karena dia asyik bermain game di ponselnya. Saat itu juga seorang pria yang berdiri di belakangnya menyentuh bahu lelaki itu agar ia tersadar dari ‘keasyikannya’. 
“Dikit lagi...ayo...ayo...,” ia terlihat antusias dengan permainan yang tertera di layar ponselnya. Karena merasa tidak dihargai, pria yang berdiri di belakangnya itu menepuk punggungnya agak keras hingga ia terkejut dan langsung mengangkat kepala. Dengan senyum kesal, ia menarik ponsel yang ada di tangan lelaki itu.
“King Da.....King Da.....”
Puluhan remaja perempuan meneriaki lelaki itu dan saling berdesakan agar bisa mendekatinya. 2 orang bertubuh tegap yang terlihat seperti bodyguard itu berusaha melindunginya yang tengah melambaikan tangan sambil menebar senyuman. Remaja - remaja itu tidak hanya berteriak namun juga membawa spanduk, memakai kaos, ikat kepala yang semuanya bertuliskan nama King Da.
“Fokus dan jangan bicara apa – apa,” bisik pria yang masih berdiri di belakang orang yang diteriaki King Da itu.
“King Da....i love you!!,” teriak seorang remaja sebelum si King Da itu masuk ke sebuah mobil. Ia memutar kepalanya dan menurunkan kaca matanya dengan telunjuknya sambil tersenyum.
“Love you more,” sahutnya singkat. Ia mengedipkan sebelah matanya dan mendorong kembali kaca matanya ke atas. Pekikan remaja lainnya terdengar semakin keras dan lelaki itu masuk ke mobilnya. Pengemudinya agak kesulitan membawa mobil keluar dari area bandara karena remaja yang masih berteriak histeris itu sama sekali tidak mau memberi jalan.
“Seperti biasa...King Da selalu bisa membahagiakan hati para fansnya,” sahut lelaki itu membuka kaca matanya dan melipat tangannya sambil tersenyum puas.
“Apa kamu bilang? Membahagiakan hati para fans? Kamu gak melakukan sesuatu aneh lagi kan Wen?” tanya pria yang merebut ponsel milik Wenda sebelum ia keluar dari bandara tadi. Wenda tidak menjawabnya. Ia mengambil ponselnya yang masih berada dalam genggaman pria itu.
“Mari kita lanjutkan yang tadi,”sahut Wenda.
Baru 5 menit perjalanan beranjak dari tempat mereka menaiki mobil pria itu berteriak setelah membaca sesuatu di ponselnya. Wenda tetap tidak peduli. Ia masih asyik bermain game.
“Wen...apa lagi yang kamu lakukan sekarang? Kamu bilang ‘I love you too’ sama salah satu fans?”
“Bukan love you too..tapi love you more,” jawab Wenda sambil terus bermain game.
“A..apa kamu bilang? Kenapa kamu bilang kayak gitu? Lagi – lagi kamu ngomong sesuka hati tanpa bertanya? Apa kamu emang suka cari sensasi?”
Wenda tidak menjawab. Dia masih asyik bermain game hingga tubuhnya juga ikut bergerak ke kiri dan ke kSunn. Pria itu kembali merebut ponselnya dan menatap Wenda dengan ekspresi marah.
“Kak Bro, kembaliin hp aku. Itu level akhir. Udah seminggu aku berusaha sampai ke level itu. Jangan suka ‘merampok’ dadakan gini. Ah iya, jangan juga suka bikin kaget orang. Karena kaget permen karet tadi jadi ketelan. Bisa gawat kalau nyangkut trus bikin rusak suara aku,” sahut Wenda sambil berusaha merebut kembali ponselnya. Kak Bro menghalangi Wenda dengan ekspresi datar.
“Kalau kamu tahu suara kamu itu perlu harusnya dipake buat yang penting – penting. Kenapa kamu malah ngomong sembarangan lagi sih Wen.....”
“Apa salahnya? Mereka kan fans setia. Tanpa fans idola itu gak bakal pernah ada.”
“Tapi kondisinya beda. Kita susah payah membangun citra yang baik tentang kamu. Jangan bikin ulah lagi. Ucapan , tindakan. Semuanya jadi sorotan dan dalam beberapa detik aja kesalahan kecil yang kamu lakukan bakal nyebar di sosial media,” sahut kak Bro berapi – api.
“Kenapa berlebihan gitu kak Bro? 3 minggu ini aku melakukan tour Asia tanpa libur dan kak Bro marah – marah soal ini?” 
Kak Bro si manager cerewet itu seperti biasa akan bicara panjang lebar berusaha mengingatkan Wenda. Wenda memasang kembali kaca mata hitamnya dan menyandarkan kepalanya lalu memejamkan mata.
“Pak Bro, kita kemana?” tanya pak Jito sang sopir.
“Kita ke rumah Wenda sekarang. Memangnya kemana lagi?” jawab kak Bro.
“Apa? Pulang? Gak. Aku gak mau,” teriak Wenda sambil membuka kaca matanya lagi.
Kak Bro menyipitkan matanya menatap Wenda. Apa oleh buat. Wenda tidak punya pilihan lain selain kembali menyandarkan kepalanya. Ia menatap keluar jendela mobil dan saat itu juga tetesan hujan mulai memenuhi kaca bagian luar. Wenda segera memutar kepalanya ke arah kak Bro.
“Kak Bro, aku...,” kalimat Wenda terhenti saat kak Bro dengan cepat memasang sebuah headphone ke telinganya. Wenda tertegun beberapa detik. Kemudian dengan senyum yang sedikit dipaksakan ia kembali menyandarkan kepalanya dan menatap keluar jendela. Pandangannya tertuju pada seseorang yang memakai payung pink. Tidak ada yang begitu menarik dari orang itu. Dia hanya mengarahkan telapak tangannya ke langit seolah ingin menangkap tetesan hujan sambil memutar – mutar payungnya. Wenda kembali menutup matanya dan meluruskan posisi duduknya.
Orang berpayung pink itu menurunkan payungnya dan melipatnya saat melangkahkan kaki masuk ke halaman Rumah Sakit Sejahtera. Dia tersenyum pada beberapa orang perawat yang sepertinya telah mengenalnya. Rambut panjangnya terlihat basah dan sebagian lengannya juga ikut basah karena hujan. Dia berlari kecil menuju dapur rumah sakit.
“Maaf nek. Aku telat karena hujan. MSun yang harus aku antar? Ini? Ini? Kamar no berapa lantai berapa?” tanya gadis itu.
“Gak usah. Jam makan malam udah lewat. Lagian kan kamu bukan perawat.”
“Cuma nganterin makSunn kan gak harus punya ijazah perawat.”
“Ada satu kamar yang harus kamu anterin teh. Pergilah ke sSun,” sahut nenek itu.
Gadis itu mengangguk cepat dan mengambil baki berisi teh yang terletak di dekatnya. Ia melangkah menuju suatu ruangan yang ada di rumah sakit itu.
Setelah menarik napas panjang dan memperhatikan papan nama yang ada di depan pintu gadis itu masuk dan heran mendapati ruangan itu tengah kosong. Ia melangkah pelan dan meletakkan secangkir teh hangat di atas meja. Dia terkejut bukan main saat  berbalik tiba – tiba saja ada seseorang tengah berdiri di belakangnya.
“Kamu Kenapa mengendap – ngendap mirip maling gitu Sundari?” tanyanya.
“Hahh...aku nyaris hampir terkena serangan jantung. Lain kali jangan gini lagi Kak Vidi,” sahut Sundari kesal. Kak Vidi tertawa namun tawanya berhenti saat melihat tetesan hujan yang menetes dari ujung rambut Sundari.
“Kamu...kehujSunn lagi? Apa kamu kehilangan payung lagi? Kenapa kamu gak bilang minta jemput kalau emang gak ada payung....”
“Itu...anu....,” Sundari berhenti bicara saat kak Vidi menyambar handuk kecil dan langsung mengusapkannya ke kepala Sundari. Sundari berusaha menghindar namun kak Vidi menariknya dan sibuk mengeringkan rambutnya.
“Kak Vidi...aku gak apa – apa,” jawab Sundari pelan.
“Gak apa – apa apanya? Aku kan udah bilang bawa payung karena sekarang musim hujan. Rambut dan baju kamu basah semua. Nanti pulang dari sini kita beli payung.”
“Tadi aku juga pake payung koq. Aku cuma main hujan dikit dan....”
Kak Vidi mengambil jaket dan membuka jas putihnya.
“Panggil nenek. Kita pulang sekarang. Aku harus antar kamu pulang,” jawab kak Vidi.
Sundari menarik napas panjang sambil menggantung kembali handuk yang ada di kepalanya.




***
    Wenda duduk di depan sebuah meja makan. Dia menatap semua makSunn yang ada di depannya. Di sepanjang meja burukuran 3 meter itu terhidang berbagai makSunn dan Wenda belum menyentuh sedikit pun makSunn itu. Ia memperhatikan seorang wanita yang duduk di seberang mejanya yang bersiap untuk menyantap makSunnnya.
“Kenapa Wen? Mama menyiapkan makSunn Korea ini waktu mama melihat postingan kamu yang makan enak selama konser di sSun. Mama gak tahu apa rasanya bakal sama dengan yang kamu makan di sSun.”
“Gak ada yang tahu pasti apa kamu makan waktu itu kan? Aku cuma mengambil beberapa foto makSunn itu dan mengunggahnya. Aku sama sekali gak tertarik dengan makSunn Korea,” sahut Wenda tenang.
Wanita yang menyebut dirinya mama itu meletakkan kembali sendoknya.
“Pelayan...ganti semua makSunn di meja ini. Letakkan masakan Jepang sekarang juga,” perintah wanita yang bernama bu Rika itu. Beberapa orang pelayan bergegas mendekati meja dan mengganti semua makSunn. Bu Rika terlihat agak cemas sedangkan Wenda menatapnya dengan senyuman sinis.
“Udah...kita harus makan sekarang. Kamu pasti lelah karena cuaca buruk dan pesawat kamu lama di udara jadi....”
“Gak perlu repot – repot lah Ma. Aku ini kan gak boleh makan banyak. Aku lagi diet. Di-et. Kalau aku gak diet semua fans – fans aku bisa kabur ntar,” sahut Wenda sambil meneguk minumannya. Dia kemudian berdiri membuat bu Rika sedikit terkejut.
“Jangan terlalu memaksakan diri Ma. Aku tahu Mama gak suka makSunn Jepang. Tapi Kenapa Mama selalu beranggapan aku yang suka makSunn Jepang? Akkhh...apa karena aku ini keturunan Jepang? Masuk akal sih. Tapi Mama harus tahu, masakan Korea atau Jepang sebenarnya gak ada yang aku suka,” sahut Wenda. Mama tambah terkejut mendengar kalimat Wenda. Apalagi saat itu Wenda langsung berdiri.
“Panggil kak Bro sekarang,” perintah Wenda pada pelayannya.
“Maaf Tuan Muda. Pak Bro baru aja pergi dan bilang malam ini Tuan Muda akan menginap di sini,” sahut pelayan itu.
“Manager mSun yang seenaknya ninggalin artisnya sembarangan?” sahut Wenda pelan.
“Kamu mau kemana Wen? Ini udah malam. Ini rumah kamu. Kamu mau kemana lagi?”
“Sejak kapan aku mengakui ini sebagai rumah?” jawab Wenda. Ia melangkah menjauhi meja makan. Bu Rika ikut berdiri tapi dia tidak memanggil Wenda dan membiarkannya pergi. Beberapa pelayan mengejarnya dan Wenda mengangkat tangan kSunnnya tanpa menoleh ke belakang. Langkah pelayan itu terhenti. Wenda memasang topinya dan sebuah masker berwarna hitam. Ia menatap langit saat keluar dari pintu.
“Jangan sampai turun lagi. Aku lagi malas berdebat,” sahut Wenda sambil mengarahkan telunjuknya ke langit. Wenda kemudian menyimpan kedua tangannya ke dalam kantong celSun dan berlari kecil meninggalkan rumah mewah itu. Bu Rika menatap punggung Wenda lewat jendela dengan tatapan sedih.

***

“Sundari...kamu mau kemana lagi? Ini udah malam,” sahut nenek saat melihat Sundari memasang jaketnya. Sundari berbalik dan tersenyum melihat nenek.
“Ada sesuatu yang harus aku beli di mini market. Roti gandum nenek habis. Aku lupa jadi aku mau beli sekarang. Bentar aja koq nek,” jawab Sun.
“Pake payungnya Sundari.”
“Tapi nek. Sekarang kan hujannya udah reda.”
“Sebentar lagi pasti hujan. Kamu lupa pesan nak Vidi?” tanya nenek.
Dengan wajah setengah terpaksa Sundari mengambil payung pink itu dan membukanya. 
“Aku pergi dulu nek,” sahut Sundari saat memasang sepatunya.
Sundari melewati lorong sempit menuju jalan raya. Memang benar hujan sudah berhenti meskipun langit terlihat benar – benar gelap. Sundari sengaja berjalan di bawah pohon hingga sisa hujan yang masih menetes lewat dedaunan masih bisa ia tangkap.
Sundari melipat payungnya dan meletakkannya di pinggir pintu masuk sebelum masuk ke mini market. Ia mengelilingi rak demi rak makSunn. Tak ada pengunjung lain selain dirinya kecuali seseorang yang tengah duduk di sudut mini market sambil menikmati mie instan. Ia memperhatikan Sundari yang berdiri sambil menekan sebuah kalkulator seperti menghitung sesuatu.
“Mbak..bisa hitung sekalian ini berapa?” tanya Wenda. Sundari tidak menyahutnya. Pertama, karena ia bukan si mbak – mbak penjaga mini market. Kedua, karena ia terlalu fokus menghitung harga roti gandum.
Kesal karena merasa di abaikan, Wenda berdiri sambil merogoh kantong celSunnya.
“Sial. Aku gak bawa uang. Hp aku masih sama kak Bro.”
Wenda memicingkan matanya. Dia melihat 2 orang penjaga mini market melihat ke arahnya sambil berbisik – bisik. Sepertinya sejak tadi mereka curiga dengan Wenda yang tidak lain adalah seorang penyanyi yang bernama King Da. Mereka terlihat seperti tengah menghubungi seseorang.
Wenda mendekati Sundari dan  gadis itu terkejut hingga kalkulatornya terjatuh. Wenda menurunkan sedikit maskernya dan berbisik.
“Kamu bisa bantu bayarin dulu kan? Aku janji bakal bayar besok. Oke cantik?”
Sun tertegun. Wenda tersenyum dan mengedipkan matanya. Ia melangkah keluar  mini market dengan cepat. Saat di depan pintu kebetulan beberapa siswi SMA berpapasan dengannya. Mereka terkejut termasuk Wenda. Buru – buru Wenda memasang kembali maskernya dan mengambil payung Sundari yang terletak di dekatnya.
“Tunggu...tunggu...kamu belum bayar,” teriak kasir mini market itu di depan pintu.
“Ki...Ki...King...King Da?” teriak salah seorang siswi.
“Dia King Da. Beneran. Itu pasti dia,” teriak temannya yang lain. Siswi itu berteriak satu sama lain. Sundari masih heran namun kemudian ia ikut berteriak.
“Payungku. Itu payungku. Pencuri,” teriak Sundari. Sundari berlari keluar dari mini market dan ikut mengejar Wenda bersama para siswi itu.
“Mbak tunggu. Kamu juga pencuri. Rotinya belum dibayar,” penjaga mini market mengejar Sundari dan menariknya. Langkah Sundari langsung terhenti. Ia memperhatikan punggung Wenda yang berlari membawa payungnya.

***

Beberapa wartawan mengambil gambar Wenda saat ia keluar dari hotel. Kak Bro dan pengawalnya berusaha menghindari Wen agar dirinya tidak terlalu tersorot kamera meskipun itu sia–sia. Kak Bro sama sekali sekali tidak mau berkomentar dan  hanya hanya memberikan sedikit senyuman saat melihat ke arah wartawan.
Wenda menghempaskan tubuhnya ke sandaran kursi mobil. Kak Bro meletakkan jaket termasuk payung yang ada di kamar hotel Wenda semalam.
“Jadi apa jadwalku sekarang kak Bro?” tanya Wenda.
“Wen...kamu masih bisa tenang dan seolah – olah gak terjadi apa – apa? Wen...kamu tahu udah bikin keributan apa? Sejak pagi berita kamu menginap di hotel udah tersebar luas. Padahal kemarin aku udah jelas – jelas ngomong ke wartawan kalau kamu bakal menginap di rumah dan butuh istirahat. Kenapa...Kenapa kamu malah terang – terangan bilang nginap di hotel?” sahut kak Bro panik.
“Mau gimSun lagi? Semalam aku udah pake masker dan bilang ke resepsionis besok bakal bayar biaya hotel 3 kali lipat. Tapi mereka gak percaya. Aku terpaksa harus liatin wajah ganteng ini sama mereka dan akhirnya mereka dengan senang hati kasih kamar. Lagian siapa suruh kak Bro merampok hp aku,” jawab Wenda.
“Wendaoo....,” pekik kak Bro kesal. Wenda terlihat cuek dan malah asyik membaca berita tentang dirinya lewat internet. Dia memperhatikan foto dirinya yang dipajang bersebelahan dengan payung pink.
“Kenapa foto aku dijejerin sama payung? Apa wajah aku mirip payung? Lebar?”
“Maksud kamu payung itu?” sahut kak Bro menunjuk payung yang terletak di dekat pintu mobil.
“Akkhh...itu payung yang aku pake semalam buat nutupin wajah. Waahh...payungnya jadi ikutan booming karena aku yang pake. Keren kan kak Bro?” sahut Wenda sambil tertawa seolah tidak mempedulikan kak Bro yang panik karena ulahnya.
“Wen...dalam semalam kamu udah terlalu banyak bikin ulah. Apa iya semalam kamu makan mie di mini market? Rekaman kamu makan di sSun hampir aja tersebar kalau aku gak mengatasinya. Kenapa kamu harus makan di sSun? Kenapa Wen?” tanya kak Bro panik.
Wenda tidak menjawab. Matanya tertuju pada satu foto. Kak Bro langsung sadar begitu melihat ekspresi Wenda berubah. Ia merebut hp milik Wenda dan melihat gambar yang tengah dilihat Wenda.
“Kalau bu Rika gak mengeluarkan pernyataan kayak gini, wartawan itu bakal langsung mencari kamu dan mencari tahu apa yang terjadi. Aku kan udah bilang kalau semalam kamu harus pulang,” sahut kak Bro.
Wenda tidak menjawab. Ia memutar kepalanya menatap jendela mobil. Kak Bro memperhatikan artikel yang ada di bawah gambar bu Rika yang menggunakan mantel berwarna hitam.
‘Ini adalah hadiah dari putraku saat ia pulang dari tour panjangnya. Ia bilang aku tidak boleh kedinginan. Aku rasa ini akan jadi baju kesayanganku. Zo-ku itu, adalah bintang dalam hidupku’. 
“Bu Rika sengaja mengeluarkan pernyataan ini agar media gak selalu curiga dengan hubungan buruk kalian dan.....”
“Jadwal aku hari ini ke radio kan? Kita harus sekarang juga. Aku dengar mereka gak punya dispensasi untuk keterlambatan,” potong Wenda. 
***

Tak banyak orang yang berjalan di jalan raya siang ini. Pinggiran toko terlihat lebih ramai karena orang – orang lebih memilih berteduh dibandingkan menggunakan payung atau jas hujan mereka. Desember memang identik dengan hujan. Hampir keseluruhan harinya dipenuhi tetesan hujan dan badai beberapa kali.
“Terima kasih,” sahut seorang pria saat setelah menerima uang kembalian saat ia membeli minuman. Di lehernya tergantung sebuah kamera dan ia juga menyandang sebuah ransel. Ia teringat kalimat dari temannya semalam.
“Kita harus dapat gambar bagus atau gak selamanya kita bakal kehilangan kesempatan bagus ini.”
Pria itu berjalan memperhatikan sekitarnya. Ia buru – buru membuang kaleng minumannya dan mengangkat kameranya saat melihat bayangan pelangi menghiasi langit siang ini. Belum sempat ia menekan tombol ia dikejutkan oleh bunyi petir yang menggelegar. Apalagi beberapa siswi SMP di dekatnya juga ikut terpekik karena bunyi petir itu. Pria itu kembali melangkah dan dia masih berniat mengambil gambar pelangi yang mulai tertutup awan. Pria itu tertegun. Bukan karena keindahan pelangi. Tapi karena ia melihat seorang gadis yang tengah tersenyum menangkap tetesan hujan. Tidak hanya itu, gadis itu juga membuka sepatunya dan malah bermain hujan. Ia menari. Kakinya berjinjit entah karena memang tariannya atau karena ia mengikuti tetesan hujan. Saat itu juga tanpa sadar pria itu mengarahkan kameranya pada gadis itu. Ia terkejut karena bunyi petir kembali menggelegar. Sangat berbeda dengan gadis itu. ia masih menari di tengah hujan seolah tak peduli dengan pekikan sang petir. Ia tertegun melihat gadis berambut panjang itu dan lamunannya buyar saat hpnya bergetar.
“Nik..kamu dimana? Aku di parkiran di tempat yang kamu bilang tadi.”
“Tunggu di sSun. Aku....”
Kalimat pria bernama Niko itu terhenti saat tiba – tiba gadis yang menari di tengah hujan itu menghilang. Dia berusaha mencarinya namun gadis itu sudah masuk ke dalam sebuah bis berdesak – desakan dengan penumpang lainnya.
’15 menit lagi aku datang. Maaf karena aku datang terlambat’. Gadis itu mengirimkan sebuah pesan sambil bergelantungan bersama penumpang lainnya. Sadar bahwa beberapa orang penumpang memperhatikan dirinya yang tengah basah kuyup gadis itu berpura – pura sibuk dengan hpnya.
“Tenang aja Sundari. Mereka gak liat kamu koq. Tarik napas dalam – dalam lalu buang. Lagian..sudah bermain hujan rasanya sudah cukup menenangkan perasaan saat ini.” 
Sundari tersenyum sambil menatap layar hitam di hpnya.

***

“Oke. Pertanyaan berikutnya. Pertanyaan yang paling di tunggu banyak orang. Seperti apa sih tipe cewek ideal seorang King Da?” tanya seorang penyiar radio yang sedang on air.
“Mmm...tipe ideal? Semuanya tipe ideal sih. Karena semua wanita itu ditakdirkan dengan wajah cantik. Aku...suka gadis berambut panjang, manis dan juga lucu. Seperti kamu misalnya,” sahut Wenda.
“Beneran? Wah...fans yang lain pasti iri dengan saya. Pertanyaan berikutnya buat King Da. Banyak yang pengen tahu soal payung pink yang jadi viral di sosial media sekarang. Ada apa sih sama payung pink itu? Seingat saya kamu bukan model iklan payung atau sejenisnya. Atau jangan – jangan ini berhubungan dengan pemiliknya. Siapa sih pemilik payung ini?”
Wenda terdiam. Ia melihat ke arah pintu dan benar saja kak Bro tengah menggeleng dan memberi isyarat padanya agar tidak bicara apa – apa. Wenda mengedipkan matanya sambil tersenyum.
“Payung pink ya? Mmm...jujur aja. Sebenarnya aku juga lagi nyari pemilik payung itu. Aku harus bilang makasih sama dia,” jawab Wenda.
“Oh ya? Tapi, apa yang mau kamu lakukan sama dia kalau dia datang menjemput payung itu?”
“Mm...kalau dia cewek aku bakal ajak dia Kencan sehari, dan kalau dia cowok aku bakal angkat dia jadi saudara,” jawab Wenda asal bicara.
“Wahh...kayaknya payung itu penting sekali buat King Da ya?”
“Aku tahu bahwa payung mungkin terdengar kayak hal yang sederhana. Tapi hal sederhana itu bisa membuat hal besar nantinya,” jawab Wenda bijak.
“Menyentuh sekali ya kata – kata King Da ini. Semoga yang punya bisa dengar ini ya. Oke guys, kebersamaan kita dengan sang raja penakluk hawa terpaksa harus kita akhiri. Senang sekali bisa berbincang – bincang panjang dengan pelantun lagu I’m not a King. Terima kasih sudah bergabung di acara star of the day. Saya Viola, Radio Cakrawala FM mohon pamit dan sampai jumpa.”
Wenda membuka headphone¬-nya dan berdiri. Penyiar radio yang tadinya bicara tenang selama on air itu berubah seperti fans Wenda pada umumnya yang meminta tanda tangan dan meminta fotonya. Dia juga sangat antusias berbicara sambil menatap mata Wenda. 
“Wenda....,” sahut kak Bro yang sudah terlihat emosi melihat ke arahnya saat ia melangkah menuju pintu keluar.
“Kak Bro...tadi waktu on air ada yang titip salam,” sahut Wenda berusaha membuat lelucon agar kak Bro tidak marah soal pernyataan asal yang telah ia ucapkan soal pemilik payung pink.


***

Wenda segera turun dari mobil dan membuka sebuah pagar. Di belakangnya kak Bro mengikutinya dengan tergesa – gesa.
“Wen...kamu ngapain ke sini?”
“Apa salahnya kalau aku datang berkunjung ke rumah manager sendiri? Aku udah lama gak ketemu kak Dila. Ketemu Arini juga. Aku udah janji bawa oleh – oleh buat Arini jadi aku bakal kasih langsung ke dia.”
“Wen...wartawan masih banyak di depan rumah kamu. Kamu harus pulang biar mereka yakin kalau kamu emang pulang. Kenapa kamu malah ke sini? Oleh – oleh buat Arini? Oleh – oleh buat bu Rika kamu gak beli apalagi buat Sang aku,” sahut kak Bro.
“Kalau Arini kan jelas. Dia juga udah aku anggap kayak adik aku. Kalau dia....emangnya aku punya hubungan apa sampai repot – repot beliin dia hadiah?” Kak Bro ternganga mendengar kalimat Wenda. Wenda mempercepat langkahnya masuk ke rumah kak Bro sambil berteriak memanggil nama Arini.
“Kalimat kamu barusan, jangan ada yang dengar. Kamu dengar itu kan?” teriak kak Bro sambil mengejar Wenda masuk ke rumahnya.
“Kak Wen datang. Hore...mSun oleh – oleh buat aku?” Arini langsung berlari mendekati Wenda. Wenda membungkukkan badannya sambil mengusap kepala Arini.
“Arini, kamu kan masih belajar. Selesaikan tugas kamu dulu baru keluar. Gak baik kayak gitu,” sahut kak Dila. Arini langsung menunduk begitu mendengar perintah mamanya.
“Sang pintar gak boleh malas. Kak Wen bakal ambil hadiah kamu di mobil dan kamu harus belajar dulu. Oke?”
Arini mengangguk sumringah dan berlari ke kamarnya. Sedangkan Wenda, ia pergi mengambil hadiah yang ia belikan untuk Arini. Hujan kembali turun. Tetesannya jatuh ke wajah Wenda. Wenda segera memasang headphonenya dan mengambil payung pink yang masih terletak di sudut mobil.
“Guru les privatnya Arini belum pulang? Gawat kalau dia ketemu Wenda,” sahut kak Bro sambil berbisik pada kak Dila.
“Kamu itu Kenapa selalu berlebihan? Wenda bukan dewa yang gak boleh ketemu siapa – siapa kan? Apa salahnya Sundari ketemu dia?”
“Kamu kan tahu dia itu sangat terkenal sekarang. Kalau dia ketemu orang trus orang itu nyebarin berita buruk tentang Wenda gimSun? Kamu mau tanggungjawab? Kalau orang – orang tahu dia ke sini, ke rumah kita bisa dikerumuni wartawan juga.”
Kak Dila menarik napas panjang dan menatap pintu kamar Arini.
“Kak Bro, kayaknya aku harus balik ke rumah dulu. Bilang sama Arini besok aku ke sini lagi. Pelayan di rumah bilang kalau wartawan pengen masuk ke rumah. Ada – ada aja.”
“Kalau gitu biar aku antar kamu pulang. Kamu bisa ngomong aneh lagi kalau ketemu mereka.”
“Kasihan kak Dila sama Arini. Kak Bro di sini aja. Lagian hampir satu bulan ini kak Bro jarang pulang. Aku pulang dulu,” sahut Wenda. Kak Bro baru saja ingin berteriak lagi namun kak Dila menahan tangannya dan menggeleng.
“Kak Wen mSun?” tanya Arini saat keluar dari kamarnya.
“Bu Dila. Saya pulang dulu. Besok saya datang lagi. Arini belum terlalu fasih perkalian. Saya akan berusaha membuat Arini mengerti,” sahut Sundari setelah jam mengajarnya selesai.
“Gak mau. Pokoknya gak mau. Gak mau lagi belajar sama kak Sundari,”sahut Arini sambil berteriak dan kembali masuk ke kamarnya.
“Saya minta maaf Sundari,” sahut kak Bro.
“Gak apa – apa Pak. Dia mungkin belum terbiasa. Nanti pasti dia menerima saya sebagai pengajarnya. Saya permisi dulu,” sahut Sundari. Kak Bro dan kak Dila tersenyum.
“Andai aja semua orang kayak dia apalagi Wenda. Ngomong sopan dan tenang,” sahut kak Bro ke kak Dila.
Sundari melangkahkan kakinya keluar dari rumah kak Bro. Sekilas di depan pagar dia melihat payung pink seperti miliknya. Sun mempercepat langkahnya dan menarik payung itu saat Wenda melangkahkan kaki masuk ke mobil.
“Payungku. Itu payungku,” sahut Sun. Wenda sedikit terkejut dan memperhatikan Sun.
“Aku gak nyangka kalau bakalan ada cewek yang langsung ngaku – ngaku punya payung ini setelah aku on air di radio barusan,” sahut Wenda. Ia kembali membalikkan badannya dan berniat masuk kembali ke mobilnya.
“Payungnya kembaliin,” teriak Sun sambil menarik headset milik Wenda karena mengira Wenda tidak mendengar ucapannya dengan jelas. Wenda terkejut dan menatap tajam ke arah Sundari. Hujan turun makin deras.
“Memangnya kamu siapa sampai berani buka headphone ini?” teriak Wenda tiba – tiba. Petir langsung menggelegar hebat. Tangan Sundari terlepas dari jaket Wenda. Wenda menutup payung itu dengan paksa dan ujungnya nyaris hampir terkena mata Sun. Sundari memicingkan matanya dengan cepat. Wenda melempar pintu mobil dengan keras membuat Sundari terkejut dan membuka kembali matanya. Sundari masih tertegun melihat mobil Wenda bergerak meninggalkannya. Sebelum Sundari kembali melangkah ia memungut sesuatu. Headphone milik Wenda terjatuh di dekat kakinya.


***
Bersambung


(New) 27-09-2014

(New) 27-09-2014
http://www.slideshare.net/anggapwm/m46314-n6

ROCKremaja

ROCKremaja
T-shirt Limited Edition Indonesian. Silahkan klik Store kita ya disini. http://tees.co.id/store/ROCKREMAJA

PAIDI ALEXSO JUMOYO

PAIDI ALEXSO JUMOYO
Buku pertama, Ambisi liar

PLANET UP TO NUS AWAS TETANUS

PLANET UP TO NUS AWAS TETANUS
Buku kedua, berkisah tentang Masa-masa kuliah

14 PROSES KEHIDUPAN (Buku ketiga)

14 PROSES KEHIDUPAN (Buku ketiga)
indie publishing, rekam jejak pernikahan saya

LAUNDRY MAHESTA

LAUNDRY MAHESTA
jln.Diponegoro perumda Mantiasih RT 4 RW 10 nomor 26 Magelang

Bahan Cerita